Penegakan hukum mulai dari pegawai pajak
Kamis, 7 November 2013
06:35 WIB |
Bicara soal penegakan hukum untuk Wajib Pajak yang tidak mematuhi kewajibannya, maka
itu harus dimulai dari pegawai Ditjen Pajak sendiri. Itulah pesan pakar hukum
perbankan dan ekonomi, Pradjoto, dalam perbincangannya beberapa waktu lalu.
Pradjoto mengakui
dengan bukti kepatuhan pajak yang hanya 53 persen menunjukkan tingkat kepatuhan
Wajib Pajak sangat rendah, maka jawaban logis untuk itu adalah menegakkan
aturan atau law enforcement.
"Tapi
persoalannya bukan hanya apakah law enforcement berjalan
atau tidak, karena persoalan tingkat kepatuhan Wajib Pajak tidak hanya dipandang dari apakah Wajib Pajak
berniat membayar, namun juga apakah Wajib Pajak meyakini pajak yang mereka
bayarkan akan bermanfaat untuk si wajib pajak, masyarakat dan negara,"
kata Pradjoto.
Untuk itulah, di mata
Pradjoto, terutama karena masih terus terjadinya pengelolaan dana pajak,law enforcement harus terlebih dahulu ditegakkan
kepada aparat pajak.
Caranya, tegakkan tata
kelola yang baik (good governance) dan tegakkan
budaya kerja yang kemudian menciptakan citra positif aparat pajak di mata
masyarakat. Aparat pajak, kata Pradjoto, harus didesain sebagai individu pejuang negara yang
bersih dan terpercaya. Jadi rendahnya pembayaran pajak bukan hanya karena Wajib
Pajak yang nakal, tetapi juga dengan membersihkan Ditjen Pajak dari oknum-oknum
aparat pajak yang nakal.
Tak hanya ingin
memulai law enforcement dari pegawai Ditjen Pajak, Pradjoto tidak setuju Ditjen
Pajak melibatkan pihak-pihak luar lembaga itu untuk menyelesaikan persoalan
pajak Wajib Pajak, termasuk debt collector.
Dalam kerangka ini,
Pradjoto menolak keras gagasan penggunaan penagih utang atau debt collector kepada para wajib pajak yang tak
dapat atau tak mau memenuhi kewajiban pajaknya. "Penggunaan debt collector akan menimbulkan ekses negatif jauh
lebih banyak dari pada manfaat yang diterimanya," kata Pradjoto.
Menurut dia, Ditjen
Pajak tak bisa menggunakan alasan keterbatasan SDM untuk memanfaatkan pihak
ketiga dalam penyelesaian tagihan pajak masyarakat. Pradjoto justru
melihat persoalan SDM yang terbatas dapat menjadi acuan untuk mengoreksi sistem
pengelolaan dan rekrutmen pegawai.
"Jumlah pegawai
aparat pajak yang rendah dibanding kebutuhannya ini berakar dari sistem
penerimaan yang berbelit dan tidak memperhatikan kepentingan Ditjen Pajak," kata Pradjoto.
Pradjoto mengusulkan
agar Ditjen Pajak menerbitkan ketentuan khusus dari penyelenggara negara agar
Ditjen Pajak leluasa merekrut pegawai baru dan mengganti pegawai-pegawai lama
yang dalam catatan Ditjen Pajak bereputasi buruk.
Jika keleluasaan ini
didapat Ditjen Pajak, maka akan memberi satu langkah luar biasa bagi Ditjen
Pajak, sehingga mungkin bisa mereformasi, membangun citra positif lembaga, dan menyelenggaraan good governance secara efektif.
Di samping mesti tegas
kepada internal sendiri, agar performa Ditjen Pajak yang tentu memerlukan
instansi terkait lain, maka para mitra kerja Ditjen Pajak dalam law enforcement mesti mendapatkan kesepahaman yang
sama mengenai pajak, demi menciptakan tindakan yang padu dan efektif sehingga
pelanggaran pajak bisa ditekan pada batas paling minimal.
Pemahaman yang sama
itu secara khusus membidik Polri dan Kejaksaan. "Kedua lembaga ini harus mempunyai
pemahaman teknis tentang pajak yang sama, agar bahasa teknis mereka sama
sehingga tidak ada kasus yang menggantung atau digantung," kata Pradjoto.
Tak hanya polisi dan
jaksa, Pradjoto juga menyarankan pengacara memahami persoalan pajak. 'Para
pengacara juga harus ditatar agar mereka mengerti dan bahasa hukum mereka bukan
lagi bahasa bombastis yang enak dicerna telinga publik tapi kenyataannya
bertentangan dengan ketentuan teknis perpajakan dan hukum," kata Pradjoto.
Ini semua dilakukan
agar fungsi penagihan pajak menjadi lebih efektif lagi. Tapi jika penagihan tak
bisa lagi berjalan baik maka segeralah masuk proses penyidikan dan pemeriksaan.
Pradjoto meminta
penagihan pajak terus menerus dilalukan demi mengingatkan Wajib Pajak agar
menutup peluang prilaku dan tindakan nakal.
Menurut dia, Wajib
Pajak, terutama pengusaha yang merupakan penyumbang dana pajak terbesar, harus dibuat
nyaman dan diproteksi sehingga patuh membayar pajak, sekaligus senang hati dan
rela membayarnya.
"Kalau pengusaha
terus diinjak-injak dan dicurigai, maka pajak akan rendah. Dengan kata
lain, kita butuh keseimbangan," kata dia.
Dia meminta semua
kalangan tak menganggap Wajib Pajak, termasuk yang berskala besar,
sebagai bandit yang membuat mereka tidak nyaman.
"Pengusaha justru perlu dilindungi dari prilaku-prilaku buruk seperti
korupsi partai politik, pemerasan, kesulitan perijinan usahau, cepat berubahnya
hukum, yang semuanya membuat pengusaha tidak nyaman," kata Pradjoto.
Padahal di mata
Pradjoto, pengusaha adalah sumber pendapatan pajak, sehingga tak elok jika
terus ditekan.
Intinya, Pradjoto
ingin memulai sistem penegakan hukum dari institusi Ditjen Pajak sendiri.
Sebaliknya, Wajib Pajak mesti ditempatkan pada layaknya pembeli di mata
penjual.
Dalam bahasa Pradjoto
semua sisi harus tegak. Untuk itulah Pradjoko menolak mekanisme apa pun yang
memaksa Wajib Pajak, termasuk penyanderaan kepada Wajib Pajak yang
membandel tak mau menyelesaikan kewajiban pajaknya.
Dia sama sekali
menolak Ditjen Pajak mengambil mekanisme penyanderaan kepada Wajib Pajak yang
belum menuntaskan kewajiban pajaknya.
"Penyanderaan
tidak bisa dijalankan sebelum penagihan yang gagal diiringi surat pemaksaan.
Oleh karena itu, law enforcement harus
aktif dilakukan secara berurutan dan beri waktu cukup kepada Wajib Pajak untuk
menyiapkan diri membayar pajak," kata Pradjoto.
Dalam bagian lain,
Pradjoto bersepakat bahwa siapa pun semestinya turut menegakkan hukum, termasuk
mengadukan siapa pun yang sengaja mengemplang pajak. "Saya sendiri, lebih
dari siap, karena kalau tidak melaporkannya, maka itu sudah berarti kita telah
berkhianat kepada negara," tegas Pradjoto.
sadar pajak yang
disebutnya jauh lebih besar dan positif manfaatnya ketimbang metode
penyelesaian kewajiban pajak apa pun.
"Harus dibangun
kesadaran bahwa pajak itu kewajiban masyarakat kepada negara. Tapi di sisi lain, aparat
pajak harus lebih dulu bersih dan tidak menyalahgunakan wewenang,"
demikian ungkap Pradjoto.
ANALISIS : Membayar pajak itu wajib bagi yang sudah
berpenghasilan. Pajak itu termasuk hal penting perekonomian, tanpa pajak
pemerintah tidak akan bisa mensejahterakan rakyat, tidak bisa menggaji para
pegawai, membiayai pembangunan. pemerintah harus serius menindak para
pengemplang pajak, namun sayangnya pemerintah selalu gagal dalam menghadapi dan
menangani para pengemplang pajak. Terkadang pemerintah selalu disalahkan, pihak
yang belum membayar pajak diberi peringatan dianggap salah, tapi jika tidak
diingatkan, pemerintah dianggap diam saja. Mungkin pemerintah harus lebih tegas
lagi supaya para pengemplang pajak bisa jera.
0 komentar:
Posting Komentar